Memahami pemikiran Al-Mazriqi sungguh merupakan suatu keindahan tersendiri. Murid kesayangan Ibn Khaldun ini selain dikenal sebagai ahli fiqh dan ulama, ia dikenal sebagai sejarawan muslim pada masanya. Belakangan dia lebih dikenal sebagai ekonom karena uraian dalam bukunya yang bertajuk “ Ighatsatul Ummah bi Kasyfil Ghummah”. Kitab ini juga dinamakan “Tarikh Maja-at fi Misr”.
Namun justru karena pemikiran terakhir inilah ia lebih dikenal sebagai analis luar biasa di bidang ekonomi. Pemahamannya dibidang ini sangat luas. Ia berbicara tentang mikroekonomi, makroekonomi, ekonomi pembangunan, inflasi, uang, anggaran negara, pasar bahkan ia berbicara tentang inedks harga yang ia rekam pada masa hidupnya di Mesir.
Taqiyyuddin Al-Maqrizi yang memiliki nama lengkap Ahmad bin Ali Abdul Qadir bin Ibrahim Al-Maqrizi juga dikenal dengan sebutan Taqiyyudin. Ia berasal dari Syam dan dilahirkan pada tahun 768 H dan meninggal di Kairo, Mesir pada tahun 845 H. Selama beberapa tahun ia pernah menetap di al-Maqrizah, karena itulah ia dikenal dengan nama al-Maqrizi. Sepanjang 79 tahun usianya, ia mengalami empat masa kekhalifahan dalam Dinasti Abbasiyah II yakni dimulai dari Khalifah al-Mutawakkil I, al-Mustain, al-Mu’tadhid II dan terakhir al-Mustakfi II.
Keahlian dan kepakaran al-Maqrizi dalam memahami persoalan-persoalan makroekonomi terutama aspek moneternya merupakan keunggulan tersendiri dibandingkan dengan ulama fikih lainnya. Ia tidak saja jeli, teliti dan kritis terhadap fenomena makroekonomi pada masanya melainkan juga tampil kedepan memberikan solusi yang didasarkan pada pemahamannya yang benar tentang pesan-pesan syariat dalam bidang tersebut.
Mesir di masa al-Maqrizi adalah Mesir yang tengah mengalami masa surut. Perekonomiannya secara umum sangatlah parah, produksi bahan makanan dan cadangannya tidak mencukupi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Hal ini menimbulkan kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok sehingga mengakibatkan kelaparan masal di Mesir, sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Penyebabnya tak lain karena administrasi pemerintahan yang tidak efisien dan sangat korup. Praktik suap-menyuap, komersialisasi jabatan, korupsi, kolusi dan nepotisme tumbuh subur di dalamnya dan pada saat yang sama diberlakukan pajak represif oleh pemerintah yang tidak accountble terhadap rakyat, sehingga menjadi kontra-produktif bagi petani. Inilah yang menyebabkan kemerosotan yang sangat tajam dalam produksi pertanian sebagai sektor kehidupan yang paling dominan saat itu.
Untuk menganalisis krisis itu dan mencari sebabnya, al-Maqrizi menggunakan analisis gurunya Ibnu Khaldun bahwa kondisi perekonomian yang begitu buruk dapat dipulihkan tanpa harus menggunakan gebrakan-gebrakan yang merugikan kepentingan rakyat dan mengurangi tingkat kesejahteraan secara umum. Kesimpulannya, kesalahan dalam mengatur perekonomian ditambah pemerintah yang tidak memiliki legitimasi, dan tidak bertanggungjawab pada penderitaan rakyat miskin selama musim panceklik dan bencana alam.
Dalam melihat sejauh mana dampak hyperinflation yang melanda perekonomiaan Mesir waktu itu, al-Maqrizi membagi inflasi menjadi dua, inflasi akibat berkurangnya persediaan barang (natural inflation) dan inflasi akibat kesalahan manusia. Inflasi jenis pertama ini juga terjadi pada masa Nabi dan Khulafaurrasyidin yaitu karena kekeringan atau peperangan.
Sedangkan untuk jenis inflasi kedua sama dengan penyebab yang mendasari krisis di Mesir yakni korupsi dan administrasi pemerintahan yang buruk, pajak berlebihan yang memberatkan petani dan jumlah fulus yang berlebihan.
Adapun penyebab inflasi akibat beredarnya fulus yang berlebihan disebabkan karena ternyata kenaikan harga-harga dalam bentuk jumlah fulusnya, misalnya untuk pakaian yang sama ternyata dibutuhkan lebih banyak fulus, akan bila tetapi nilai barang diukur dengan dinar emas, jarang sekali terjadi kenaikan harga, untuk itulah al-Maqrizi menyarankan agar jumlah fulus dibatasi secukupnya saja, sekedar melayani transaksi pecahan kecil.
Selain mempelajari penyebab inflasi dan dampaknya, al-Maqrizi dengan tujuan itu membagi klasifikasi masyarakat Mesir kedalam tujuh kelompok strata sosial. Dengan pembagian seperti itu rupanya ia ingin melihat segmen masyarakat mana yang paling parah terkena dampak dari inflasi yang menggila itu. Adapun ketujuh kelompok masyarakat itu adalah :
1. Penguasa dan para pembantunya (Ahlud Daulah)
2. Pengusaha dan para pedagang (Ahlul Yasar)
3. Golongan Menengah dari kalangan profesional (Ashabul Hirfah)
4. Petani yang hidupnya di pedesaan
5. Golongan fakir (para Fukaha, mahasiswa dan prajurit)
6. Pekerja kasar dan Nelayan
7. Para peminta-minta
Setelah membagi strata tersebut, ia mengklasifikasikan satu persatu kelompok tersebut kedalam intensitas akibat hyperinflation itu. Untuk golongan pertama mereka menerima nominal income lebih tinggi, tetapi purchashing power mereka menurun drastis karena real income mereka merosot tajam akibat inflasi. Golongan yang kedua, aset mereka mengalami penurunan karena dimakan oleh biaya yang terus membengkak dan inflasi. Golongan ketiga yang mendapatkan upah yang meningkat secara nominal tetapi karena melonjaknya harga menyebabkan tingkat kehidupan mereka tetap seperti sebelumnya. Adapun golongan keempat, al-Maqrizi membaginya menjadi dua yaitu petani menengah keatas dan petani menengah kebawah. Untuk yang pertama lebih diuntungkan karena krisis moneter sehingga aset dan kekayaan mereka meningkat, sedangkan yang kedua sangat dirugikan karena harga yang begitu tinggi tidak sebanding dengan hasil pertanian mereka. Adapun golongan kelima adalah golongan yang paling menderita. Hal ini disebabkan pendapatan mereka yang berupa upah dan gaji yang bersifat tetap. Sedangkan golongan yang keenam dan ketujuh adalah segmen masyarakat yang tidak saja terparah penderitaannya bahkan sampai mati kelaparan.
Jelaslah bahwa berdasarkan penggolongan strata masyarakat tersebut terlihat bahwa dampak krisis moneter pada masa itu bergantung pada hakikat pendapatan (income) dan kekayaan (wealth) masing-masing golongan. Jika pendapatannya bersifat tetap atau meningkat tetapi lebih rendah dari inflasi maka kondisinya parah. Sebalknya jika pendapatannya meningkat lebih tinggi dari laju inflasi maka kesejahteraan meterial mereka meningkat. Begitu pula dengan kekayaan uang, merekapun mengalami kerugian karena daya beli mereka terus berkurang disamping itu mereka juga harus meningkatkan biaya untuk memenuhi tuntutan kebutuhan yang harganya terus meningkat.
Ketika menulis krisis ekonomi di Mesir, al-Maqrizi menganalisis persoalan tersebut dengan suatu pandangan makroekonomi yang utuh, padu dan komprehensif. Ia tidak memisah-misahkan antara faktor-faktor ekonomi dan nonekonomi yang berperan dalam menimbulkan krisis lazimnya analis ekonom pada masa sekarang. Sebaliknya ia sertakan semua determinan yang ada baik itu sosial, politik, hukum, agama, akhlak dan lain-lain kedalam analisisnya sehingga menjadikannya berdaya jangkau luas dan lebih akurat dalam mengidentifikasi penyebab dan solusinya.
Kesalahan yang sangat sering dilakukan oleh sebagian pakar ekonomi modern adalah melihat fenomena-fenomena ekonomi dari sudut pandang ekonomi saja. Mereka membatasi diri dan analisisnya hanya dalam koridor yang sempit sehingga preskripsi yang mereka ajukan sebagai rekomendasi penyembuhan krisis ekonomi tidak tepat. Inilah barangkali kenapa krisis ekonomi pada masa sekarang cenderung tidak dapat disembuhkan dengan formula-formula racikan para pakarnya, akibatnya fungsi-fungsi utama teori ekonomi terasa loyo dan mandul ketika diterapkan pada situasi riil di lapangan. Disinilah kita melihat al-Maqrizi sangat unik dalam melakukan pendekatan kepada fakta, apapun fakta tersebut. Mereka menatap objek dengan horizon yang seluas-luasnya sehingga terlihat benar keadaan objek tersebut. Dengan pendekatan lintas disiplin yang menjadi karakteristik metodologi ilmuwan muslim, suatu problem dapat dilihat secara lebih tepat, lebih terang dan lebih menyeluruh dan tentunya hasilnya akan lebih akurat dan berdaya sembuh lebih besar.